28 Mei 2008

Burung Kakatua, jangan Hinggap di Jendela lagi

Dikutip dari : Indonesian Nature Conservation newsLetter 11-22b

Burung , 27 Mei 2008

Burung kakatua
Hinggap di jendela
Nenek sudah tua
Giginya tinggal dua

Lagu ini di Indonesia begitu melegenda. Hampir tak ada manusia dewasa maupun anak kecil yang tidak tahu lagu tersebut. Dengan lagu itu sesungguhnya kita sudah diperkenalkan dengan salah satu keragaman hayati negara kita, burung kakatua.

Burung kakatua merupakan bagian dari kelompok burung – yang kalau secara umum di dunia menyebutnya – parrot, yang juga dikenal sebagai kelompok burung dalam family (suku) Psittacidae. Jika di-indonesia-kan secara ilmiah, istilah parrot disepakati terjemahannya menjadi burung paruh bengkok. Agak aneh kedengarannya, wong hampir semua burung paruhnya juga bengkok. Tapi kelompok parrot ini memang betul-betul bengkok paruhnya, asli! Tapi tidak apa-apa, daripada lebih kacau balau nantinya lagi.

Indonesia merupakan salah satu gudangnya burung paruh bengkok di dunia. Tercatat ada 77 jenis yang berkeliaran di nusantara. Kakatua sendiri merupakan bagian dari family Psittacidae ini, yaitu dalam subfamily Cacatuinae. Suku Psittacidae sebenarnya juga melingkupi jenis lain, seperti jenis-jenis nuri, betet, dan saudara-saudaranya. Namun kadang-kadang sebagian kita (dan juga kamus) menyamaratakan penyebutannya sebagai kakatua. Jadi, sebenarnya seperti apa yang disebut kakatua ini?

Kakatua termasuk jenis burung paruh bengkok yang paling aktraktif dan mudah dibedakan secara visual. Secara kasat mata, burung kakatua umumnya berbadan relatif besar, paruh bengkok-nya terlihat besar, kuat, dan kokoh, serta ciri khas adanya jambul yang dapat tegak berdiri pada saat-saat tertentu, seperti waktu marah atau waspada. Tidak bakal salah, jambul inilah ciri dan daya tarik mereka yang paling utama.

Penyebaran burung kakatua aslinya hanya beredar di daerah-daerah pasific, khususnya Kepulauan Indonesia, Pulau Papua, Benua Australia, dan pulau-pulau kecil sekitarnya. Dari 18 jenis kakatua yang umum dikenal di dunia, Indonesia sendiri terdapat tujuh jenis, dan… tiga jenis di antaranya merupakan jenis endemik (hanya hidup alami) di Indonesia. Kawasan Wallacea, yaitu daerah sekitar Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara merupakan basis kehidupan sebagian besar para kakatua ini di Indonesia.

Kita mengenal kakatua raja (Probosciger aterrimus) dari kawasan Papua sana. Hitam, besar, dengan jambul jigrak. Dari kawasan papua sana juga, sebetulnya dapat kita jumpai kakatua kecil (Cacatua pastinator) di Papua bagian Selatan, dan kakatua-besar jambul-kuning (Cacatua galerita) yang tersebar luas tidak hanya hampir di seluruh papua, tapi juga di sepanjang sisi Utara dan Timur Australia. Jelas, disebut kakatua-besar jambul-kuning, karena postur tubuhnya yang cukup besar (dapat mencapai panjang setengah meter) dengan jambulnya yang panjang mentereng berwarna kuning menyala. Indah sekali, apalagi jika kita melihatnya di alam langsung.

Tiga jenis endemik kakatua, semuanya menetap di kawasan Wallacea. Kawasan Wallacea merupakan kawasan peralihan antara penyebaran fauna kawasan kontinen Asia (Oriental) di bagian Barat Laut Indonesia dan kontinen Australia (Australasia) di bagian Tenggara. Inilah ide terpenting dalam ilmu pengetahuan, yang diwariskan oleh naturalis asal Inggris Alfred Russel Wallace, yang pernah malang melintang mengunjungi kawasan ini abad 19 lalu (namanya diabadikan untuk menunjuk kawasan ini). Tak heran, kakatua yang lebih banyak tersebar di Australia, Papua, dan sekitarnya, juga gentayangan sampai ke kawasan peralihan ini.

Kakatua endemik Indonesia semuanya hidup alami di Kepulauan Maluku. Di bagian paling Utara, hiduplah kakatua putih (Cacatua alba) yang memang putih bersih, hanya paruhnya saja yang hitam. Kakatua ini tersebar di Pulau Halmahera, Bacan, Obi, dan sekitarnya. Mundur lagi ke Selatan, di Pulau Seram dan sekitarnya, berkeliaran jenis kakatua maluku (Cacatua moluccensis). Jenis ini sedikit lebih cantik dari sepupunya di Utara sana. Bentuk dan ukurannya serupa, namun warna jambulnya merah segar. Kepala sampai badannya pun terlihat rona-rona merah bercampur putih yang cantik.

Saudara kecilnya yang endemik satu lagi, hidup di Kepulauan Tanimbar, kepulauan paling selatan di Maluku. Di kepulauan ini terdapat jenis kakatua tanimbar (Cacatua goffini). Ukuran tubuhnya kecil, seperti saudara tuanya yang ada di tanah papua, Cacatua pastinator. Kemiripan mereka menyebabkan ada beberapa ahli yang masih menyatakan bahwa jenis endemik Cacatua goffini ini sebenarnya merupakan bentuk super species dari jenis di Papua dan Australia tersebut. Namun lebih banyak yang menyatakan jenis ini sudah merupakan jenis tersendiri.

Kakatua tanimbar tersebar di Pulau Yamdena, Larat, Selaru, Sera, dan sekitarnya, dalam kesatuan Kep. Tanimbar. Selain bertubuh kecil (sekitar 30-an cm), jambulnya pun pendek. Warna dasar bulu dan paruhnya putih, namun ada bercak merah di depan mata mereka. Warna merah juga kadang terlihat di dasar bulu-bulu muka dan jambul mereka.

Satu jenis lagi adalah kakatua-kecil jambul-kuning (Cacatua sulphurea). Sesuai namanya, warna sulfur dicirikan pada jambulnya yang panjang berwarna kuning sulfur. Bahkan sub speciesnya yang ada di Pulau Sumba, warna jambulnya sudah berbeda menjadi oranye. Jenis ini paling tersebar luar di Indonesia. Habitat utamanya adalah di kawasan Wallacea (bahkan sampai ke Pulau Nusa Penida dan Kep. Masalembo). Namun akibat banyak orang yang memperdagangkan dan memeliharanya, jenis ini ada yang terintroduksi ke alam di luar habitat aslinya. Selain itu, berpisahnya Timor Timur dari Indonesia, menyebabkan jenis ini sekarang milik alami dua negara.

Di alam aslinya, kakatua hidup di dalam hutan namun sering juga singgah di perkebunan masyarakat sekitar hutan. Makanan mereka berupa buah-buahan, bebijian, dan kadangkala memburu serangga juga. Mereka umumnya hidup berpasangan namun beberapa pasang dapat berkumpul sekaligus dalam jumlah besar (dapat mencapai ratusan). Acara kumpul-kumpul ini biasanya terjadi jika mereka menemukan sumber makanan dalam jumlah yang berlimpah.

Saat pagi hari mereka sudah keliaran mencari sumber makanan. Sambil terbang, biasanya mereka berteriak keras, sehingga keberadaannya mudah untuk diketahui. Jika tidak makan di hutan, mereka seringkali mencoba menyambangi daerah-daerah pertanian. Tak heran, banyak dari masyarakat desa sekitar hutan menggolongkan mereka sebagai salah satu hama pertanian potensial. Tanaman pertanian yang sering mereka serbu adalah jagung. Namun di luar musim jagung, pisang, pepaya, bahkan singkong pun yang di dalam tanah mereka embat juga. Lapar apa doyan?

Mereka umumnya tidur di pohon-pohon besar. Mereka berkembangbiak dengan membuat sarang di lubang-lubang pohon besar. Musim berbiak tampaknya beragam, tergantung kondisi lingkungan, yaitu biasanya saat jumlah makanan cukup berlimpah. Umumnya mereka bertelur dua sampai tiga butir per pasang per musim dan mereka erami selama sekitar tiga minggu.

Lalu, apa yang terjadi dengan kakatua-kakatua kita saat ini? Sebagian besar dari mereka mengalami nasib yang sangat menyedihkan. Ancaman kelestarian mereka di alam memprihatinkan. Perburuan di alam untuk perdagangan serta menyempitan hutan-hutan habitat alami mereka, merupakan ancaman yang paling serius untuk semua jenis.

Kakatua-kecil jambul-kuning yang tampaknya cukup parah. Penyebarannya yang cukup luas, banyak yang tinggal kenangan. Di Sulawesi Utara dan Lombok, dikabarkan sudah punah, dan penurunan tajam di tempat-tempat lain. Jenis-jenis terutama yang memiliki penyebaran terbatas, nasibnya tak jauh beda. Jenis kakatua putih dan kakatua maluku juga sudah sangat susah dijumpai secara asli di habitat alaminya.

Nasib sedikit lebih baik menaungi jenis Cacatua gofini di forgotten islands, Kepulauan Tanimbar sana. Jenis ini masih cukup mudah ditemui di alam. Namun, jangan bersenang hati dulu. Disinyalir ribuan ekor tiap tahun, mereka jalan-jalan ke luar daerah sebagai bahan perdagangan maupun cindera mata. Sudah menjadi rahasia umum, mereka kerap menjadi oleh-oleh bagi para anggota penegak hukum sendiri yang pulang bertugas dari daerah ini. Cap sebagai hama pertanian menyebabkan nasib mereka makin terdesak di mata masyarakat.

Apa yang dapat kita lakukan? Jelas kita tidak menghendaki jenis-jenis ini harus punah tinggal kenangan di nusantara, seperti telah terjadi di beberapa tempat. Daftar jenis satwa yang dilindungi dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 7 tahun 1999 tentang Pengawetan jenis tumbuhan dan satwa, telah memasukkan jenis-jenis Cacatua galerita, Cacatua sulphurea, Cacatua moluccensis, Cacatua goffini, dan Probosciger aterrimus di dalamnya. Kita pun dapat mendukung upaya pelestarian ini. Caranya jelas tidak membeli burung-burung cantik ini di manapun dia dijual dan di manapun kita berada. Ajaklah juga saudara, teman, atau orang yang tidak kita kenal sekalipun, untuk tidak ikut-ikutan memelihara burung kakatua.

Selayaknya kita harus membagi ruang dan kenyamanan lingkungan kita dengan makhluk hidup lain termasuk burung kakatua tersebut di muka bumi ini. Sekali-kali jangan merasa takjub atau kagum, kita tunjukkan di depan mata para penjual dan pemelihara burung ini. Sesungguhnya mereka bukanlah penyayang burung, tapi justru menyiksanya. Merenggut mereka dari kebebasan alaminya, yang akhirnya 99% mereka akan mati tersiksa tanpa meninggalkan keturunan. Bagaimanapun mereka selalu lebih indah, jika kita saksikan sendiri keliaran di alam aslinya. Jangan lagi mereka harus hinggap di jendela kita, tapi biarkan mereka hinggap di pohon, hutan alami mereka.

(Hanom Bashari/Burung Indonesia)

0 Comments:

 

blogger templates | Make Money Online